Jumat, 24 Januari 2014

Pesan yang dinanti

Kemarin malam, 23 Januari 2014, kira-kira pukul setengah delapan, aku mendapat pesan dari sebuah nomor tak dikenal. Dalam pesan itu, Ia memperkenalkan dirinya dan menyampaikan ucapan terima kasih untuk dukunganku beberapa malam lalu. Sekali lagi, aku terkejut dan sejenak kemudian bersyukur. Tuhan mendengar doa saya, apa yang saya nanti-nanti dua hari ini akhirnya terwujud. Senang mendengar kabar bahwa dia dan pasangannya sama-sama sedang memperjuangkan anak dalam kandungannya, mereka memutuskan untuk menikah dan membesarkan anak tersebut. Tetapi niat itu masih terhalang oleh izin dari Sang Ibu. Dia memintaku untuk membantunya dalam doa. Tentu saja, bagaimana tidak, batinku. Aku selalu ingin mendoakan yang terbaik bagimu, bagi anakmu, bagi keluargamu. Jangan pernah putus asa, jangan pernah berhenti berjuang. Semoga Tuhan senantiasa melimpahimu dengan Kasih-Nya. Aku berdoa agar aku tetap bisa berhubungan denganmu terus, aku ingin menjadi teman untukmu. 

Rabu, 22 Januari 2014

Wanita Asing dan Sebuah Pelukan Hangat

Kemarin, Selasa, 21 Januari 2014, jadi hari yang luar biasa buat aku. Awalnya aku mengira bahwa pengalaman luar biasa itu akan aku peroleh dari perjalananku mengantarkan Flavio Nunes, seorang pengajar dan peneliti dari University of Minho, Portugal, untuk berkeliling Kampong Cyber di daerah Taman Sari Water Castle. Ternyata aku salah, maksudku, pengalamanku bersama Flavio hari ini sangat menyenangkan, sejak aku sangat ingin bertemu dan berbagi cerita dengannya, tapi Tuhan memberikan aku kesempatan yang jauh lebih luar biasa dari itu. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku akan jadi bagian dari cerita hidupku.

Sore ini, setelah mengantarkan Flavio kembali ke hotel aku memutuskan untuk pergi ke gereja untuk Misa Harian sekaligus melihat adik-adik angkatan yang sedang jaga parkir untuk usaha dana KKN mereka. Sesampainya disana, yang kutemui hanya Surya menjaga parkir seorang diri. Dia bilang teman-temannya banyak yang sudah pulang ke kampung masing-masing. Aku yang kasihan dengan Surya memutuskan untuk segera membantu begitu Misa selesai. Ketika aku sedang sibuk menghitung uang parkir yang didapatkan tiba-tiba seorang pria setengah baya menghampiriku, katanya “Mba, bisa minta tolong, di ujung sana ada seorang wanita yang sedang menangis seorang diri. Saya mau membantu tapi ga enak, karena saya laki-laki, nanti dikiranya malah macem-macem. Tolong dibantu mbak, kali aja kalo sama-sama perempuan lebih bisa ngobrol”. Awalnya kaget dan bingung sih, tetapi karena niat bapak ini baik aku memutuskan untuk mengiyakan dan menghampiri perempuan yang dimaksud oleh bapak itu. Sesampainya aku dihadapan perempuan itu, bapak tadi dan beberapa orang temannya yang ikut mengantar berpamitan dan meninggalkan kami berdua. Perempuan itu hanya diam dengan mata berkaca-kaca dan tatapan kosong. Ragu-ragu saya menyapanya “Mba, mba kenapa? Ada apa?”. Dia hanya diam. Lalu saya mengajaknya mencari tempat duduk yang nyaman sambil mengusap-usap punggungnya lalu menggandeng tangannya.

Kami duduk di kursi yang terletak di bagian samping luar gereja, terhalang tembok dengan kerumunan orang di depan pintu gerbang dan dengan pencahayaan yang terbatas. Aku yang masih bingung harus berbuat apa memutuskan untuk kembali mengusap-usap punggungnya, mencoba memberi ketenangan. Sejenak kemudian tangisannya semakin menjadi. Ia hampir tak mengeluarkan suara bahkan tubuhnya terbilang tenang tetapi air matanya terus mengalir. Lalu aku mencoba mengajaknya bicara “Mau dipeluk? Biar lebih enakkan mungkin.” Ia tak bergeming tetapi aku tetap memutuskan untuk memeluknya, melingkarkan kedua tanganku dibahunya, mendekatkan wajahku kebagian belakang kepalanya. Entah kenapa, pelukan pertama dengan perempuan yang tak kukenal itu terasa hangat bagiku, begitu pula dengan pelukan-pelukan selanjutnya. Beberapa detik kemudian, seraya melepaskan pelukanku darinya aku berkata pelan “Kalau ada yang ingin diceritakan mungkin aku bisa mendengarkan”. Dia diam sambil terus meneteskan air mata. Tiba-tiba ia berucap “Saya cuma kasihan sama bayinya”. Sontak saya kaget dan tidak bisa menyembunyikan kekagetan tersebut. Saya terus mengusap punggung dan tanggannya sembari sesekali memberi pelukan ketiaka ia memutuskan untuk bercerita. Hanya beberapa kalimat pendek yang cukup menjelaskan mengapa ia bisa berada disana dengan keadaan seperti itu.

Jujur saja aku kehabisan kata-kata, aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa mencoba menenangkan dan menghibur. Satu yang pasti, saat itu juga aku merasa bersyukur aku bertemu dengannya. Aku tak bisa merasakan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi paling tidak aku bisa mengerti sedikit kegelisahan batinnya, apa yang menjadi kekhawatirannya. Puji Tuhan, ketika ia merasa tak lagi ada orang yang bisa diandalkan untuk berbagi, tak lagi ada orang yang mendukungnya, ia datang pada Tuhan. “Saya ga tau lagi harus kemana, saya cuma bisa dateng ke Tuhan”  tuturnya. Ya, satu-satunya yang dapat diandalkan di dunia ini hanya Tuhan, Ia selalu ada di sana, menemanimu dalam apapun keadaanmu. Pilihannya untuk datang pada Tuhan di Gereja sore ini menurutku adalah keputusan yang paling tepat. Aku bersyukur ia ada dihadapanku saat itu, ketimbang berada di tempat lain dengan keputusan yang salah.

Aku tahu ini perkara yang tak mudah. Semua orang yang terlibat di dalamnya pasti akan merasa terguncang. Tak seorangpun dari orangtuanya, orangtua pasangannya, pasangannya, bahkan ia sendiri, mengira ini semua akan terjadi. Maksudku, aku tahu ini adalah konsekuensi dari apa yang telah ia perbuat dengan pasangannya di masa lampau. Apapun alasan dibaliknya. Menjadi sangat wajar ketika orangtua merasa kaget, marah dan kecewa menerima kabar ini, sesuatu yang tak pernah mereka harapkan akan terjadi. Namun, ini yang ada dalam pikiranku : terkadang, kita hanya perlu bersabar untuk bisa menerima kenyataan yang kita hadapi terutama untuk hal-hal yang tak diinginkan seperti ini. Ketika peristiwa ini terjadi pasti akan ada tentangan dari lingkungan, akan datang banyak cercaan dan cemooh tetapi ketika waktu berlalu mereka akan bisa menerima bahwa ini adalah sesuatu yang sudah terjadi dan tak dapat dihapuskan begitu saja atau bahkan diulangi. Hal yang perlu dilakukaan saat ini adalah mencoba mengerti alasan dibalik peristiwa ini, mengampuni diri sendiri dan mengupayakan solusi yang terbaik.

Berbekal dari pengetahuanku, aku memberi saran kepadanya untuk tetap menjaga kandungannya karena dalam ajaran Agama Katolik memang dilarang menggugurkan janin karena sejak pembuahannya yang pertama kali, janin tersebut sudah dianggap sebagai makhluk hidup. Sekali lagi, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah tapi aku punya kepercayaan bahwa ini semua dapat diatasi, bahwa akan ada kekuatan yang datang dari Tuhan yang akan menuntun kita melewati masa-masa sulit itu. Toh, menggugurkan kandungan tak lalu menyelasaikan masalah, bahkan mungkin menimbulkan masalah baru seperti gangguan psikis atau perasaan bersalah. Menurutku, menggurkan kandungan hanya bisa menyelamatkan wajah seseorang/keluarga dari semua cemooh dan cercaan yang mungkin datang dari lingkungan sekitar tetapi menjaga dan merawat janin itu hingga dewasa adalah perbuatan kasih. Seberat apapun perjuangan yang harus dilakukan, anda telah melakukan kasih sebagaimana Tuhan sendiri ajarkan.

Aku tak banyak bertanya karena menurutku hal ini sangat personal dan aku tidak ingin mengetahui apa yang tak ingin ia bagikan padaku. Bahkan hingga kami berpisah aku tak pernah tahu siapa namanya, dimana ia tinggal, darimana ia berasal. Aku hanya menanggapi ceritanya, semampuku. Sebijaksana mungkin yang aku bisa. Semoga saja apa yang kusampaikan padanya seturut dengan kehendak Tuhan dan dapat mengantarkannya pada keputusan yang tepat. Semoga ia selalu dilingkupi oleh kasih Tuhan dan selalu diberi kekuatan untuk melalui semua ini. Semoga Tuhan mempertemukanku lagi dengannya, entah esok atau lain waktu. Sesungguhnya, aku ingin suatu hari nanti aku bisa melihatnya bersama dengan anak yang saat ini dalam kandungannya.

Aku sendiri bersyukur aku telah terselamatkan dan menikmati kasih-Nya hingga detik ini.