Ngilu di dada itu datang lagi.
Ngilu yang kurasa saat merindumu.
Kembali hadir setelah sekian lama kuhindari.
Sekali lagi kuucapkan maaf padamu.
Maaf, selalu mengganggumu.
Ngilu di dada itu datang lagi.
Ngilu yang kurasa saat merindumu.
Kembali hadir setelah sekian lama kuhindari.
Sekali lagi kuucapkan maaf padamu.
Maaf, selalu mengganggumu.
Malam dimana kau tak bisa memejamkan mata dikala seluruh penghuni rumah sedang menikmati mimpinya.
Sudah dua hari menjadi penunggu tetap tempat tidur, ulah obat-obatan rupanya. Gejala tipes, begitu kata dokter.
Gara-gara obat saya tertidur sesiangan, terpaksa membatalkan janji, tertinggal banyak momen dan yang terburuk adalah masih terjaga hingga 2.28. Tak ada sedikit pun tanda-tanda akan tenggelam dialam mimpi manakala itu yang paling dinanti.
Mulai meragu pada daya tahan tubuh (mata) untuk menepati janji siang nanti. Ah, menjadi sakit tidaklah menyenangkan dan menjaga kesehatan ternyata bukan perkara mudah.
Lalu, begadang malam ini membawa saya pada rindu menggendong ransel bersama sahabat. Kembali menghitung hari dan pundi untuk bisa menjelajah, berpetualang entah kemana saja.
Sayangnya, saat ini saya berada di rumah yang notabene menjadi bagian dari hirukpikuk kota metropolitan. Yang nyaris tak memiliki tempat untuk bersembunyi atau melarikan diri. Pertemuan dengan sahabat hanya dibatasi pada tembok-tembok tinggi dan jalanan yang tak pernah absen macet. Itu kenapa rasanya saya tidak pernah cinta Jakarta dan seluruh unsur kekotaannya.
Di Jogja, saya bisa dengan mudah melarika diri. Cukup kurang lebih 45 menit bertemu hutan, bukit, sawah, bahkan puncak gunung. 3 jam untuk bertemu pantai yang bersih. Beberapa menit untuk pameran, seni dan konser.
Jakarta, jelas bukan sesuatu yang saya damba. Jika saya punya pilihan dan jika Tuhan mengizinkan saya memilih, saya ingin bekerja dan tinggal bukan di kota ini. Kota ini bukan kota yang saya inginkan untuk kelak anak-anak saya tumbuh. Kota ini bukan kota yang saya inginkan untuk orangtua saya kelak menikmati hari tuanya.
Meski jelas, kota ini yang mempertemukan kita dan menjadi tempat bersejarah berawal dan berakhirnya cinta kita.
Tadi malam, kau hadir dalam mimpiku.
Kita bertemu dalam sebuah rumah. Kau bersama seorang wanita.
Anehnya, aku tak terkejut melihatnya. Bahkan ketika aku tahu ia kekasihmu.
Aku terkejut saat ia berpamitan hendak beribadah dengan menenteng mukenah di tangannya.
Detik berikutnya, aku memandangi wajahmu. Berusaha menemukan sebuah jawaban dari sana.
Aku tak berhasil.
Ah, aku pun pernah jatuh pada lubang itu dan kau tau.
Tapi ini kamu, teladan imanku. Aku tak sanggup percaya.
Apapun makna dibalik mimpi itu, kembali kulipat tanganku seraya berbisik...
'Tuhan, bimbing ia dimana pun ia berada. Lingkupilah ia dengan kasih-Mu. Turunkan Roh Kudus di atasnya agar dapat menerangi jalannya menuju Kerajaan-Mu.'
Salamku.
Pada akhirnya, saya mengerti kenapa kamu tak lagi ingin menemui, atau bahkan berhubungan denganku.
Segalanya tentang kamu selalu meninggalkan desir yang lembut namun kuat, mampu mengoyak hati meski hanya sejenak.
Saat ini, saat dimana aku ingin benar-benar berhenti mencarimu, kau kerap muncul. Disela-sela pesan atau komentar. Meniupkan lagi rasa ingin tahu, melongok lagi gambarmu dan lalu... deg, jantungku berhenti sejenak.
Wajah itu, senyum itu... aku merindu.
Selalu, seperti itu.
Lagi, bertanya: apa yang kelak kan terjadi pada kita? Kita.
Mungkinkah cerita kita kan sama seperti cerita dalam novel yang baru saja selesai kubaca?
Ah, sudahlah. Bukankah sudah tak lagi ada kita?
Ya, itulah mengapa aku merindukan kita.
Kita.
Berdua.
Bukan aku, bukan kamu.
Kita.
Untuk semua rasa yang pernah ada, aku masih ingin menganggapmu sebagai teman, sahabat, sebagau seorang abang.
Jika kelak kau membutuhkan aku, jangan pernah sungkan untuk menghubungiku. Aku pasti akan disana, untukmu.
Janji ini tidak kubuat untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Izinkan aku menepatinya, suatu hari nanti.
13.
Aku berlatih...
Menerima kepergianmu.
Aku berlatih...
Memahami arti sebuah hubungan.
Aku berlatih...
Memaknai kehidupan.
Tanpamu.
Tertatih.
Sejak kedatanganku di Jogja lagi beberapa hari lalu, aku melakukan hampir semuanya sendiri. Maksudku, tentu saja aku berinteraksi dengan orang-orang di sekitarku tapi seperti apa yang kuniatkan sejak beberapa minggu yang lalu, aku mencoba tidak bergantung pada orang lain terutama pada teman. Aku memang memilih untuk lebih menyendiri dibanding biasanya. Aku, sebenarnya tipikal orang yang tidak suka sendiri, tidak suka sepi dan cenderung bergantung pada orang lain. Sangat mengejutkan bagiku bahwa nyatanya aku berhasil melakukan itu. Aku menikmati semua momen-momen kesendirianku. Aku bahkan tidak merasa sedih maupun kesepian. Semua berjalan begitu saja, seperti tak ada yang berbeda. Nyaman sekali rasanya ketika saya bisa punya banyak waktu bagi diri saya sendiri untuk lebih banyak berpikir dan merenung, merencakan apa yang ingin, harus dan akan saya lakukan hari ini maupun beberapa saat kedepan. Senang bisa menuntaskan kewajiban-kewajibanku sendiri tanpa intervensi orang lain. Belajar lebih mandiri dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Dan lebih dari itu semua, aku menikmati hari-hari tanpa galau. Saya, berhasil membebaskan pikiran saya dari pemikiran tentang lawan jenis. Ya, aku sedang tidak tertarik dengan itu semua. Bahkan aku berhasil menghindarinya (atau mereka). Aku terbebas dari semua pikiran dan perasaan rumit itu. Bahkan, aku berhasil memaafkan diriku sendiri dan membiarkan dia pergi. Tak lagi ingin mengusiknya, tak lagi menginginkan apa-apa darinya selain ingin melihatnya bahagia dengan apapun keputusan yang diambilnya. Meski aku masih terus menyebut namanya dalam doaku, aku bisa melantunkan doa-doa yang lebih indah. Doa yang tak lagi bergairah melainkan berpasrah.
Untuk semua ini, aku sangat bersyukur.
Puji Tuhan.