Kemarin,
Selasa, 21 Januari 2014, jadi hari yang luar biasa buat aku. Awalnya aku
mengira bahwa pengalaman luar biasa itu akan aku peroleh dari perjalananku
mengantarkan Flavio Nunes, seorang pengajar dan peneliti dari University of
Minho, Portugal, untuk berkeliling Kampong Cyber di daerah Taman Sari Water
Castle. Ternyata aku salah, maksudku, pengalamanku bersama Flavio hari ini
sangat menyenangkan, sejak aku sangat ingin bertemu dan berbagi cerita
dengannya, tapi Tuhan memberikan aku kesempatan yang jauh lebih luar biasa dari
itu. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku akan jadi bagian dari cerita
hidupku.
Sore ini,
setelah mengantarkan Flavio kembali ke hotel aku memutuskan untuk pergi ke
gereja untuk Misa Harian sekaligus melihat adik-adik angkatan yang sedang jaga
parkir untuk usaha dana KKN mereka. Sesampainya disana, yang kutemui hanya
Surya menjaga parkir seorang diri. Dia bilang teman-temannya banyak yang sudah
pulang ke kampung masing-masing. Aku yang kasihan dengan Surya memutuskan untuk
segera membantu begitu Misa selesai. Ketika aku sedang sibuk menghitung uang
parkir yang didapatkan tiba-tiba seorang pria setengah baya menghampiriku,
katanya “Mba, bisa minta tolong, di ujung sana ada seorang wanita yang sedang
menangis seorang diri. Saya mau membantu tapi ga enak, karena saya laki-laki,
nanti dikiranya malah macem-macem. Tolong dibantu mbak, kali aja kalo sama-sama
perempuan lebih bisa ngobrol”. Awalnya kaget dan bingung sih, tetapi karena
niat bapak ini baik aku memutuskan untuk mengiyakan dan menghampiri perempuan
yang dimaksud oleh bapak itu. Sesampainya aku dihadapan perempuan itu, bapak
tadi dan beberapa orang temannya yang ikut mengantar berpamitan dan
meninggalkan kami berdua. Perempuan itu hanya diam dengan mata berkaca-kaca dan
tatapan kosong. Ragu-ragu saya menyapanya “Mba, mba kenapa? Ada apa?”. Dia
hanya diam. Lalu saya mengajaknya mencari tempat duduk yang nyaman sambil
mengusap-usap punggungnya lalu menggandeng tangannya.
Kami duduk di
kursi yang terletak di bagian samping luar gereja, terhalang tembok dengan
kerumunan orang di depan pintu gerbang dan dengan pencahayaan yang terbatas.
Aku yang masih bingung harus berbuat apa memutuskan untuk kembali mengusap-usap
punggungnya, mencoba memberi ketenangan. Sejenak kemudian tangisannya semakin
menjadi. Ia hampir tak mengeluarkan suara bahkan tubuhnya terbilang tenang
tetapi air matanya terus mengalir. Lalu aku mencoba mengajaknya bicara “Mau
dipeluk? Biar lebih enakkan mungkin.” Ia tak bergeming tetapi aku tetap
memutuskan untuk memeluknya, melingkarkan kedua tanganku dibahunya, mendekatkan
wajahku kebagian belakang kepalanya. Entah kenapa, pelukan pertama dengan
perempuan yang tak kukenal itu terasa hangat bagiku, begitu pula dengan
pelukan-pelukan selanjutnya. Beberapa detik kemudian, seraya melepaskan
pelukanku darinya aku berkata pelan “Kalau ada yang ingin diceritakan mungkin
aku bisa mendengarkan”. Dia diam sambil terus meneteskan air mata. Tiba-tiba ia
berucap “Saya cuma kasihan sama bayinya”. Sontak saya kaget dan tidak bisa
menyembunyikan kekagetan tersebut. Saya terus mengusap punggung dan tanggannya
sembari sesekali memberi pelukan ketiaka ia memutuskan untuk bercerita. Hanya beberapa
kalimat pendek yang cukup menjelaskan mengapa ia bisa berada disana dengan
keadaan seperti itu.
Jujur saja aku
kehabisan kata-kata, aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa mencoba
menenangkan dan menghibur. Satu yang pasti, saat itu juga aku merasa bersyukur
aku bertemu dengannya. Aku tak bisa merasakan apa yang ia rasakan saat ini,
tetapi paling tidak aku bisa mengerti sedikit kegelisahan batinnya, apa yang
menjadi kekhawatirannya. Puji Tuhan, ketika ia merasa tak lagi ada orang yang
bisa diandalkan untuk berbagi, tak lagi ada orang yang mendukungnya, ia datang
pada Tuhan. “Saya ga tau lagi harus kemana, saya cuma bisa dateng ke
Tuhan” tuturnya. Ya, satu-satunya yang
dapat diandalkan di dunia ini hanya Tuhan, Ia selalu ada di sana, menemanimu
dalam apapun keadaanmu. Pilihannya untuk datang pada Tuhan di Gereja sore ini
menurutku adalah keputusan yang paling tepat. Aku bersyukur ia ada dihadapanku
saat itu, ketimbang berada di tempat lain dengan keputusan yang salah.
Aku tahu ini
perkara yang tak mudah. Semua orang yang terlibat di dalamnya pasti akan merasa
terguncang. Tak seorangpun dari orangtuanya, orangtua pasangannya, pasangannya,
bahkan ia sendiri, mengira ini semua akan terjadi. Maksudku, aku tahu ini
adalah konsekuensi dari apa yang telah ia perbuat dengan pasangannya di masa
lampau. Apapun alasan dibaliknya. Menjadi sangat wajar ketika orangtua merasa
kaget, marah dan kecewa menerima kabar ini, sesuatu yang tak pernah mereka
harapkan akan terjadi. Namun, ini yang ada dalam pikiranku : terkadang, kita
hanya perlu bersabar untuk bisa menerima kenyataan yang kita hadapi terutama untuk
hal-hal yang tak diinginkan seperti ini. Ketika peristiwa ini terjadi pasti
akan ada tentangan dari lingkungan, akan datang banyak cercaan dan cemooh tetapi
ketika waktu berlalu mereka akan bisa menerima bahwa ini adalah sesuatu yang
sudah terjadi dan tak dapat dihapuskan begitu saja atau bahkan diulangi. Hal
yang perlu dilakukaan saat ini adalah mencoba mengerti alasan dibalik peristiwa
ini, mengampuni diri sendiri dan mengupayakan solusi yang terbaik.
Berbekal dari
pengetahuanku, aku memberi saran kepadanya untuk tetap menjaga kandungannya
karena dalam ajaran Agama Katolik memang dilarang menggugurkan janin karena
sejak pembuahannya yang pertama kali, janin tersebut sudah dianggap sebagai
makhluk hidup. Sekali lagi, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah tapi aku
punya kepercayaan bahwa ini semua dapat diatasi, bahwa akan ada kekuatan yang
datang dari Tuhan yang akan menuntun kita melewati masa-masa sulit itu. Toh,
menggugurkan kandungan tak lalu menyelasaikan masalah, bahkan mungkin
menimbulkan masalah baru seperti gangguan psikis atau perasaan bersalah.
Menurutku, menggurkan kandungan hanya bisa menyelamatkan wajah
seseorang/keluarga dari semua cemooh dan cercaan yang mungkin datang dari
lingkungan sekitar tetapi menjaga dan merawat janin itu hingga dewasa adalah
perbuatan kasih. Seberat apapun perjuangan yang harus dilakukan, anda telah
melakukan kasih sebagaimana Tuhan sendiri ajarkan.
Aku tak banyak
bertanya karena menurutku hal ini sangat personal dan aku tidak ingin
mengetahui apa yang tak ingin ia bagikan padaku. Bahkan hingga kami berpisah
aku tak pernah tahu siapa namanya, dimana ia tinggal, darimana ia berasal. Aku
hanya menanggapi ceritanya, semampuku. Sebijaksana mungkin yang aku bisa. Semoga
saja apa yang kusampaikan padanya seturut dengan kehendak Tuhan dan dapat
mengantarkannya pada keputusan yang tepat. Semoga ia selalu dilingkupi oleh
kasih Tuhan dan selalu diberi kekuatan untuk melalui semua ini. Semoga Tuhan
mempertemukanku lagi dengannya, entah esok atau lain waktu. Sesungguhnya, aku
ingin suatu hari nanti aku bisa melihatnya bersama dengan anak yang saat ini
dalam kandungannya.
Aku sendiri bersyukur aku telah
terselamatkan dan menikmati kasih-Nya hingga detik ini.